DPR Optimis Selelaikan Revisi KUHP
DPR RI tetap berkomitmen untuk menyelesaikan pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) meskipun memerlukan waktu yang cukup lama dan cukup berat. Hal ini menyangkut persoalan pokok UU induk yang dapat berpengaruh terhadap sistem hukum di Indonesia.
Pernyataan tersebut dikemukakan Ketua Komisi III DPR, Gede Pasek Suardika, dalam diskusi membahas perkembangan Revisi Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) masih terus berjalan di Komisi III DPR, hadir pula menjadi narasumber Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Akhiar Salmi, di gedung DPR, Jakarta, Selasa (30/7).
Permasalahan manyangkut pasal yang menjadi perdebatan publik terkait dengan RUU KUHP ini, menurut Pasek, jumlahnya mencapai 700 pasal. Sehingga, kata dia, diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan pembahasan RUU tersebut.
"Apalagi sekarang baru sebatas turun ke daerah, karena banyak perbedaan pengetahuan, khususnya terkait masalah pidana, termasuk soal peraturan hukum adat, dan lain-lain," ujar politisi Partai Demokrat ini.
Pasek juga menyinggung mengenai beberapa pasal yang dinilai krusial, diantaranya pasal perzinaan dan penyadapan. "Ada beberapa pasal yang hingga kini masih menjadi perdebatan panjang. Pasal yang mengatur mengenai perzinaan, masih menjadi perdebatan apakah masuk dalam ranah pidana atau sanksi sosial," ujarnya.
Menurut Pasek, perzinaan harusnya bisa diselesaikan dengan hukum adat yang memberikan sanksi sosial kepada pelakunya, begitu juga dengan pasal mengenai santet yang sebetulnya mengatur tentang penipuan menggunakan bantuan gaib. "Soal penyadapan, juga menjadi perdebatan apakah berlaku umum di mana KPK bisa masuk ke dalamnya, begitu juga dengan pasal hukuman mati dan penghinaan presiden," tegasnya.
Terkait persoalan kewenangan penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini kerap diperdebatkan, juga menjadi pembahasan yang cukup panjang. "Saya tetap mendukung penguatan lembaga penegakan hukum seperti KPK, Kepolisian, Kejaksaan, maupun Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam penyadapan. Hanya saja, penyadapan itu perlu diatur lebih detil, khususnya terkait dengan hal-hal yang bersifat luar biasa, Hal itu dimaksudkan agar bisa diawasi dan tidak menyalahgunakan kewenangan penyadapan yang diberikan dalam RUU KUHP yang sedang dibahas di DPR ini," ujarnya.
Dia menjamin, tidak ada niat untuk melemahkan KPK dengan mengurangi kewenangan penyadapan. Namun ia mengkritik KPK yang selama ini melakukan penyadapan terhadap seribuan orang, tetapi baru dua kasus yang berhasil diungkap. Sementara kasus besar tidak tertangkap oleh KPK.
"Ada metodologi pengawasan dalam penyadapan itu, nanti untuk menjaga ketertiban internal KPK sendiri," ujarnya menambahkan. Bahkan, ada usulan dibentuk lembaga penyadapan bagi seluruh penagak hukum, bukan hanya untuk KPK. Tetapi belum ada kesepatakan bentuk lembaga tersebut.
Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Akhiar Salmi mengusulkan agar penyadapan yang dilakukan KPK untuk kepentingan penyelidikan dugaan kasus korupsi, tidak perlu meminta izin kepada Pengadilan Negeri.
“Penyadapan yang dilakukan KPK bisa saja sangat mendadak serta bisa dilakukan pada hari libur atau tengah malam,” katanya.
Dijelaskannya jika KPK harus meminta izin lebih dahulu kepada Pengadilan negeri waktunya akan menjadi lama, apalagi Pengadilan Negeri hanya buka pada jam kerja, sedangkan penyadapan bisa dilakukan diluar jam kerja.
Kalaupun harus meminta izin lebih dahulu kepada Pengadilan Negeri, kata dia, proses meminta izinnya seperti apa ?
“Apakah disampaikan secara tertulis melalui surat atau disampaikan langsung secara lisan ? izin itu siapa yang menerima?” katanya.
Menurutnya jika permintaan izin dilakukan secara tertulis melalui surat, dalam birokrasi surat itu dicatat dulu sebagai surat masuk dan kemudian disampaikan kepada pimpinan Pengadilan Negeri. Dalam hal ini, kata dia, proses pencatatan dan penyampaian sarat itu akana memakan waktu cukup lama sera berpotensi bocor.
“Karena tercatat dalam buku surat masuk, bisa saja rencana penyadapan itu bocor kepada orang yang akan disadap,” katanya. Karena itu Akhiar mengusulkan agar penyadapan yang dilakukan oleh KPK untuk kepentingan penyelidikan dugaan kasus korupsi tidak perlu meminta izin kepada Pengadilan Negeri.
Namun disisi lain, kata Akhiar, harus juga diatur rambu-rambunya, bahwa penyadapan dilakukan untuk kepentingan penyelidikan dugaan korupsi, tidak bisa dilakukan untuk kepentingan pribadi. (as)foto:od